RHD. Dalam kunjungan ke Bulukumba, saya dan Akbar Alimuddin, relawan Rumah Hijau Denassa (RHD) mengunjungi sisa hutan di desa Bajiminasa, kecamatan Rilau Ale. Bajiminasa merupakan desa yang berjarak sekitar 27 km utara kota Bulukumba.
Rilau Ale, nama kecamatan berasal dari bahasa Bugis yang bermakna disebelah hutan. Nama ini diberikan karena dahulu wilayah ini berdekatan dengan hutan, bahkan terdapat banyak hutan di desa dan kampung di kecamatan ini, namun saat ini hutan sudah sulit ditemukan. Yang bisa kita temui sisa spot yang menyisakan beberapa tanaman penting di tepi kebun dan sawah warga. Seperti di Gowa dan daerah lainnya spot seperti ini tidak bisa dijamin sampai kapan bisa tetap ada, karena lahan-lahannya telah diklaim warga. Mereka dapat menebang pohon besar yang telah memproduksi benih dan bisa menjadi indukan tanaman baru. Pemilik lahan bisa membabatnya dan merubahnya menjadi ladang atau sawah kapan pun mereka mau.
Saya lebih sering dan lebih giat mengunjungi dan masuk spot seperti ini, dibanding masuk hutan lindung untuk menemukan flasma nutfah. Hutan lindung masih masih bisa diharapkan karena masih sering diperhatikan Jagawana, sedangkan spot seperti ini kondisinya di ujung tanduk, sangat jarang menemukan dalam keadaan 30% menyimpan plasma nutfah alaminya.
Seperti halnya Ahad pagi hari ini (25/01/2015) sebelum kembali ke Gowa kami menyusuri kebun-kebun warga dan pematang sawah. Melintasi anak sungai yang terbentuk dari kaki persawahan menuju ke tepian rimbun pohon yang berada di bawa puncak bukit. Pada lahan yang dirimbuni Arenga Pinnata (Enau) kami temukan rotan betina, Muni-muni, Biruppa, Karabotu, dan beberapa tanaman lain.
Muni-muni merupakan family Zingiberaceae, tumbuhan ini merimpang dalam kerabat dekat dengan Panasa dan Katimbang. Selain berumbi menghasilkan buah yang muncul di atas tanah berbentuk gerigi berbintang dengan bunga warna putih. Buahnya dikonsumsi terasa lebih manis dari Katimbang dan tidak panas seperti rasa buah Panasa.
Kami juga mendapatkan benih Karabotu, tanaman berbintik pada daunnya yang memberi rasa gatal ketika disentuh. Selain itu di areal ini masih kami temukan Nyoro, Rita, Suriang, dan beberapa burung pekicau di pohon besar yang menjulang di atas bukit.
Kami keluar dari hutan ini setelah tiga jam menyusuri dan menemukan beberapa benih tanaman. Saya meninggalkannya dengan penuh harap, semoga kelak ketika diberi rezki untuk mengunjunginya lagi, hutan kecil dirimbuni daun aren ini masih belum dibabat dan dialihfungsikan. (Darmawan Denassa)
Rilau Ale, nama kecamatan berasal dari bahasa Bugis yang bermakna disebelah hutan. Nama ini diberikan karena dahulu wilayah ini berdekatan dengan hutan, bahkan terdapat banyak hutan di desa dan kampung di kecamatan ini, namun saat ini hutan sudah sulit ditemukan. Yang bisa kita temui sisa spot yang menyisakan beberapa tanaman penting di tepi kebun dan sawah warga. Seperti di Gowa dan daerah lainnya spot seperti ini tidak bisa dijamin sampai kapan bisa tetap ada, karena lahan-lahannya telah diklaim warga. Mereka dapat menebang pohon besar yang telah memproduksi benih dan bisa menjadi indukan tanaman baru. Pemilik lahan bisa membabatnya dan merubahnya menjadi ladang atau sawah kapan pun mereka mau.
Saya lebih sering dan lebih giat mengunjungi dan masuk spot seperti ini, dibanding masuk hutan lindung untuk menemukan flasma nutfah. Hutan lindung masih masih bisa diharapkan karena masih sering diperhatikan Jagawana, sedangkan spot seperti ini kondisinya di ujung tanduk, sangat jarang menemukan dalam keadaan 30% menyimpan plasma nutfah alaminya.
Seperti halnya Ahad pagi hari ini (25/01/2015) sebelum kembali ke Gowa kami menyusuri kebun-kebun warga dan pematang sawah. Melintasi anak sungai yang terbentuk dari kaki persawahan menuju ke tepian rimbun pohon yang berada di bawa puncak bukit. Pada lahan yang dirimbuni Arenga Pinnata (Enau) kami temukan rotan betina, Muni-muni, Biruppa, Karabotu, dan beberapa tanaman lain.
Muni-muni merupakan family Zingiberaceae, tumbuhan ini merimpang dalam kerabat dekat dengan Panasa dan Katimbang. Selain berumbi menghasilkan buah yang muncul di atas tanah berbentuk gerigi berbintang dengan bunga warna putih. Buahnya dikonsumsi terasa lebih manis dari Katimbang dan tidak panas seperti rasa buah Panasa.
Kami juga mendapatkan benih Karabotu, tanaman berbintik pada daunnya yang memberi rasa gatal ketika disentuh. Selain itu di areal ini masih kami temukan Nyoro, Rita, Suriang, dan beberapa burung pekicau di pohon besar yang menjulang di atas bukit.
Kami keluar dari hutan ini setelah tiga jam menyusuri dan menemukan beberapa benih tanaman. Saya meninggalkannya dengan penuh harap, semoga kelak ketika diberi rezki untuk mengunjunginya lagi, hutan kecil dirimbuni daun aren ini masih belum dibabat dan dialihfungsikan. (Darmawan Denassa)